Saddam, Sayangku...

https://id.pinterest.com/



Bias rembulan menyelimuti wajahmu
Warnanya perak kekuningan bak bermandikan air bah,
Yang baru saja ku infiltrasi menjadi,
Emas.

Kau menatap resah.
Apa gerangan yang kau pikirkan?
Apakah kau memikirkan keberuntunganku?
Atau justru kau takut akan gemelut rindu.
Biarkan, apapun itu, kan membuatmu damai.
Perlukah kau ku peluk dalam kehangatanku?
Agar hilang sudah sendi kekalutan diri.

Aku akan menyadarkan,
Bahwa hidup memang perjuangan.

Lalu dengan tegas,
Kau genggam jemari mungil itu.
Padahal ingin ku menari dalam kegemulaian sejati
Agar aku pun dapat kau dekap,
Lebih dekat.

Saddam, sayangku...
Tak pernahkah kau mengiranya?
Berry hitam di taman mekar.
Tetap kalah hitam dengan warnaku.
Warnaku tak pernah terinfiltrasi.
Bolehkah aku memilih hitam?
Hitam pekat, bukan hitam terbakar.
Gelap. Tanpa warna lain.
Aku setia. Tunduk.

Saddam, sayangku...
Sudikah kau menanyakan pada Dewa Ra’?
Bulan malam ini, mengapa begitu indah?
Menawarkan romantisme fana.
Lalu kau kecup bibirku.
Kau lumat habis tanpa sisa, sayangku.

Malam melankolik mengiang,
Ngiiing... ngiiing... ngiiing...
Bergemerisik, lalu, mati.

Hingga ku lihat lampu pijar.
Cahayanya temaram, namun tetap hangat.
Laiknya pelukan mesrahmu kala itu.
Redup. Gelap. Menyala.

Kau habiskan aku.
Habis?
Apakah rasa juga akan habis?
Secepat itu?
Ku harap Dewa Ra’ tak paham, soal cinta.
Lalu bagaimana DIA tak paham?
Dengan sinar bulannya yang hangat,
Ia membuatku kembali,
Pada pelukanmu lagi, sayang.
Bolehkah selamanya kau dekap aku?
Menghangatkan, ku bilang.
Sambi kau basahi bibirku kembali.
Nikmat, sayang...

Comments

Popular Posts