Rindu Rinjani



Rabu, 21 Desember 2016  10:17 pm
Hujan. Rinjani tak suka hujan. Suaranya mengganggu, berisik. Seperti jutaan paku jatuh di atap genteng yang karatan. Tak merdu, tetapi justru menggema menjadi ketukan-ketukan bernada. Petir menggelegar, tanda Sang Zeus sedang tak bersahabat. Mungkin Sang Dewa sedang menelan kegetiran menahan rindu, seperti gadis yang sedang menatap hujan di jendela rumahnya yang reot. Rinjani tak mengerti, mengapa dia merasakan rindu yang teramat parah. Bahkan dia sendiri pun tak mengerti, apa dan siapa rindu yang merangsang hatinya itu berkehendak? Padahal Natha yang sudah menjadi pelindung Rinjani selama sebelas bulan terakhir ini masih tetap berada dipihaknya, siap-siap menyengkeram pada siapapun yang berani menganggu gadis yang sudah menjadi miliknya. Memang bagi Rinjani, Natha adalah laki-laki sempurna yang pernah dia temui sebelumnya. Natha yang berpawakan tinggi sekitar 178 sentimeter dengan kacamata yang selalu menyangkut diwajah ovalnya membantu dia melihat benda-benda jarak jauh yang buram. Tetapi dia selalu terlihat tampan dengan kacamatanya yang memiliki frame berwarna hitam. Kulitnya cokelat kekuning-kuningan, ditambahi dengan porsi wajah yang pas dan senyum manis dengan sudut bibir membentuk sebuah lengkungan kecil yang masuk kedalam dikedua ujungnya. Terkadang Rinjani merasa parno jika saja Natha banyak yang naksir, takut kepincut sama salah satu diantaranya. Natha adalah sebuah pemberian dari Tuhan yang memang sengaja diperuntukan bagi Rinjani.
Rinjani kembali pada batas kesadaran otaknya. Dia terlalu banyak melamun semenjak kemarin. Dan rindu yang menggelayuti, diam-diam menjadi sebuah tanya. Apa sebenarnya yang dia rindukan? Mungkin rasa kesepian yang membayangi. Berhubung pada akhir-akhir ini Rinjani dan Natha tak dapat berbagi cerita berdua di kasur hangatnya. Sepertinya Rinjani membutuhkan kembali heroin aroma tubuh Natha yang akhir-akhir ini mulai memudar perlahan. Rinjani merasa sempoyongan, beranjaklah ia menatap hujan dan pergi ke ujung ruang untuk duduk dipinggiran kasurnya. Kecupan hangat bibir tipis kekasihnya serta lumatan halus, kembali lagi terbayang. Deru nafas Natha ketika sedang ‘ON’ yang seringkali membangkitkan gairahnya, semakin dirasa hangat dalam bayangan Rinjani. Lalu selanjutnya Rinjani meringkuk dan kembali meneteskan air mata. Punggungnya menempel pada dinding bercat biru muda yang dingin di ujung tempat tidur, lalu tertidur.
Tunggu. Bukan hal-hal fana itu yang dirindukan oleh Rinjani, tetapi kehadiran Natha yang dia butuhkan untuk tetap merengkuhnya dalam kehangatan. Akhir-akhir ini Natha lebih sibuk dengan project pamerannya yang digelar sebulan penuh di Ballroom Grand City Surabaya, salah satu mall besar yang sering mengadakan acara pameran. Keyakinan Natha untuk menjadi seorang seniman hebat dengan karya lukis yang terkenal seantero bumi pertiwi membuat Rinjani tidak ingin menghentikan mimpi yang tergantung beberapa sentimeter di kepala Natha. Rinjani bukan merasakan kesedihan akan hal itu. Perempuan itu akan mendukung mimpi-mimpi kekasihnya yang akan terwujud sebentar lagi, buktinya Natha akan diundang pada acara yang diadakan di Istana Negara bersamaan dengan seniman-seniman besar lainya. Kemarin malam Natha mengabari kebahagiannya itu melalui pesan teks. Rinjani membacanya sekali lagi.
Natha
20/12/2016  08:17 pm
Aku diundang datang ke Gedung Istana Negara, Rinjani. Aku akan duduk dengan seniman-seniman terkenal. Aku bahagia.

Rinjani
20/12/2016  08:20 pm
Kau tak ingin pulang kerumah, Natha? Aku Rindu.

Natha
20/12/2016  08:32 pm
Maaf. Hari ini aku lelah sekali. Aku menginap dikontrakan temanku yang dekat dengan mall. Mungkin lusa sore aku akan mampir.

Rinjani
20/12/2016  08:34 pm
Jaga kesehatanmu, Natha. Aku sayang padamu.

Tak ada balasan lagi.


            Kamis, 22 Desember 2016  08:49 pm
            Perempuan itu sedang sibuk memilih tart yang sedang berjajar di etalase toko kue. Lagi-lagi Rinjani sedang bingung menentukan pilihannya. Dia ingin memberikan sedikit kejutan kecil di hari yang baginya spesial. Pilihannya jatuh pada Red Velvet Cake yang diatasnya ditambahi dengan cokelat serut dan potongan buah Strawbery.
            “Mbak, saya mau bungkus yang ini. Tapi tolong dikasih ucapan ini.” Rinjani yang tadinya membungkuk untuk melihat etalase dengan jelas lalu menegakkan tubuhnya, mencari pelayan yang sedang menganggur untuk membungkus pesanannya lalu menyodorkan secarik kertas yang sudah dia persiapkan sebelumnya. Kertas itu berisi tiga kata sederhana: “Happy Anniversary, Natha.”
            Beberapa menit, pelayan berwajah oriental itu memberikan pesanan yang di inginkan oleh Rinjani, “Ini pesanannya. Silahkan bayar di kasir.” Tak perlu berlama-lama, Rinjani menuju kasir dan membayarnya lalu beberapa menit kemudian dia mendorong pintu kaca yang berada disebelahnya dan meninggalkan toko kue itu. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di ballroom mall itu. Meskipun mall itu besar, tetapi Rinjani sudah hafal ke arah mana dia akan mengambil langkah. Toko kue yang dihampiri Rinjani sebelumnya berjarak tidak terlalu jauh dengan ballroom pameran, tetapi masih berada di dalam mall. Sehingga tak memerlukan banyak waktu dan tenaga lebih.
            Matanya menelusuri tiap sudut ruangan. Menjelajah setiap seni rupa yang ada, lalu bergegas pada lorong-lorong yang memamerkan lukisan. Rinjani sangat hafal dengan lukisan Natha. Natha selalu melukis dengan aliran Realisme eksotis dan terkadang dia yang menjadi model telanjangnya. Lalu dia melihat gambar punggungnya, Rinjani kenal betul lukisan itu adalah gambar dirinya. Dia gelagapan mencari sosok Natha yang sedari tadi sudah tak sabar untuk ditemuinya. Selang empat meter dihadapannya telah berdiri sosok yang dicarinya semenjak ia melangkahkan kaki di ballroom pameran itu. Dengan tak sabar Rinjani berlari kecil ke arah Natha lalu dipeluknya dengan erat sosok yang sedang sibuk mengamati lukisan kubuisme didepannya. Natha melonjak kaget lalu melepaskan pelukan Rinjani. Wajah Natha memerah.
            “Rinjani, apa-apaan?” Natha merasa kaget, marah, bingung dan malu. Tangan mungil perempuan itu ditarik menuju pintu keluar pameran. Secara tidak langsung Natha tidak menginginkan Rinjani berada di tempat itu bersamanya. Natha tak ingin Rinjani muncul disaat dia akan mencapai kesuksesan yang tinggal sedikit lagi.
“Rinjani, kau seharusnya tak disini. Aku tak ingin kau menggangguku, aku ingin fokus”
“Jadi, aku penghambat bagimu?” Rinjani tak percaya dengan kalimat Natha. Setahunya, Natha tidak pernah untuk menolak kehadirannya. Rinjani pergi.
Tidak ada harapan lagi. Baginya Natha telah berubah menjadi seseorang yang mirip dengan aktor antagonis di film kartun Peter Pan kesukaannya, Kaptain Hook.  Bahkan Natha lebih mementingkan karir tanpa memedulikan Rinjani, seorang perempuan yang telah menjadi ibu, teman, atau bahkan rival Natha yang saling memperebutkan guling. Dia tampak lelah, rindu memang menyiksa. Tetapi pada dasarnya dia tak berhak untuk apapun yang menyangkut soal mimpi-mimpi Natha, dia hanya ingin membantu. Rinjani menangis sembari meletakkan langkah pada tujuan utamanya saat ini. Rumah.


Kamis, 22 Desember 2016  11:11 pm
Hujan lagi. Rinjani masih berdiri dan menatap hujan melalui jendela kacanya semenjak satu setengah jam yang lalu. Malam ini begitu sendu, begitu melankolik. Suara mobil terdegar samar-samar bertumbukan dengan suara denting tetesan hujan, perempuan itu masih tetap tak peduli. Sosok Kaptain Hook muncul di kamar Rinjani, lalu memeluknya dan menciumi punggung leher kekasihnya itu.
“Aku tau kau sedang rindu. Dan aku terlalu berambisi,” Natha merasa bersalah, dia harus dihukum. Tetapi kiranya Rinjani murah hati, tak perlu rasanya malaikat tanpa sayapnya ini dihukum dengan cara apapun. Dia hanya ingin memeluk Kaptain Hook yang sedari awal mereka bertemu telah menjadi malaikatnya. Natha Angelo namanya, artinya adalah malaikat pemberian Tuhan. Dan itu benar.
“Maaf.” Lalu kecup bibirnya yang dirindukan telah kembali.



Comments

Popular Posts