Dewasalah, Nak!

Simbok, 
Lihatlah permata intanmu,
Ia menangis ternganga.
Matanya merah bak buto ijo.
Begitu pula bibirnya,
Tergagap sembari bertuah.
Tembusan tulang pipinya,
Basah lumpur tak terserap.
Kasihan anakmu, Mbok. 

Simbok,
Lihatlah permata intanmu.
Tubuhnya bergetar,
Bak halilintar,
Memutar.
Hingga masuk ke tulang,
Belakang yang menjadi tumpuan. 

Simbok,
Lihatlah permata intanmu.
Jalannya terhuyung,
Tak dapat menahan laju badai,
Hembusan angin kenangan.
Membuatnya semakin tak karuan, Mbok.
Kasihan, ia bisa apa?
Kasihan, ia kudu bagaimana? 

Bapake,
Lihatlah anak gadismu ini.
Ia gemulai meratap tabir.
Lentur sendinya,
Bergerak sesuai roda zaman.
Agar ia tak turut terkilas.
Tapi apa daya?
Isok opo ora?
Anakmu telah lelah, Pak!
Tariannya mulai tak benah.

“Nak… Nak…”
Panggil Simbok.

“Dewasalah, Nak!”
Teriak Bapak.

"Dewasane kudu pripun toh, Pak?”
“Saya sudah tidak kuat, Pak”

“Nak… Nak…”
Panggil Simbok lagi.

“Dewasalah, Nak!”
Sahut Bapak.

Gusti Allah nyembadani toh, Nduk
Gusti Allah sing badhe mangsuli
“Lepaskan dari pada gerah penggalih
Simbok nyanyi merdu.

“Dewasalah, Nak.”
Ora perlu nangis lagi”
“Intan permataku,
Ora pantes nangisi baja besi karatan
“Beda harga, Nduk”
Bapake lan Simbok, nembang.

Matur nuwun
Adhem Ayem.

Comments

Popular Posts