Sebuah Harapan Baru

           Ia terlalu menyibukan diri. Ia ingin melupakan tentang bagaimana rasanya sakit hati atau apapun yang berbau dengan ‘cinta’. Alexa memang gadis yang dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya adalah seorang pekerja kantoran yang sudah ditekuni bertahun-tahun. Dony sebagai bapak dari gadis itu adalah seorang manajer keuangan di salah satu gedung tinggi di Surabaya. Sedangkan ibunya, Rasti, seorang pengacara yang memiliki kantor atas namanya sendiri.
            Bukan karena kekurangan biaya hidup yang memaksanya untuk menjadi pegawai di kafe. Alasannya sedikit rumit, dia hanya ingin menghabiskan waktu liburannya untuk melakukan kegiatan yang sedikit lebih berguna bagi dirinya. Sembari menata sedikit demi sedikit puing-puing hatinya yang runtuh. Mengembalikan kehidupan normalnya meskipun disanding dengan pernikahan orang tuanya yang sudah tak dapat lagi dipertahankan.
            Alexa terlalu banyak melamun. Bahkan dirinyaa tak menyadari ketika seorang pria memandangnya dari kejauhan. Pria itu adalah pelanggan yang beberapa hari terakhir ini selalu nampak dan menjadi pelanggan tetapnya. Entah siapa namanya? Alexa tak terlalu mempedulikannya. Ia sudah merasa cukup jatuh cinta. Alexa tak ingin lagi jatuh ke lubang madu beracun itu. Pria itu mengahampirinya, tetap saja Alexa merasakan hal yang terlalu biasa.
            “Saya pesan Cappucino dan Pancake Choco Vanilla satu ya,” senyumnya mengembang sempurna, matanya tak berhenti mengikuti gerak-gerik Alexa yang saat itu sibuk dengan mesin kasirnya untuk memilihkan menu pria itu.
            “Maaf mas, Iced Cappucino atau Hot Cappucino?” pria itu tetap saja terdiam menatapnya.
            “Hallo, mas…” ia tergagap lalu tersadarkan dengan lambaian tangan Alexa yang pas terlintas di depan wajahnya.
            “Hh… Hot aja ya, mbak”
            Namanya Bintang, mahasiswa jurusan sastra pindahan dari Jakarta yang dengan terpaksa mengikuti pekerjaan dinas orang tuanya yang suka berpindah-pindah kota. Ini kedua kalinya ia pindah sejak enam tahun belakangan. Bintang sendiri pun sedikit sebal dengan pekerjaan Papinya yang memaksa dirinya untuk menjadi manusia nomaden. Tapi hal itu tak bertahan cukup lama. Bintang sedikit lebih bersyukur karena dengan kepindahan keluarganya di salah satu kota metropolitan di Pulau Jawa ini membawakan berkah indah bagi dirinya. Ia bertemu dengan sosok Alexa di kafe pinggir kota.
            Awal mulanya ia hanya ingin mencari tempat untuk menenangkan hati setelah berdebat dengan Papinya, ia melintas jalanan lalu tanpa sengaja melihat papan yang bertuliskan “Kedai Nostalgia”. Namanya cukup unik, mungkin itu salah satu alasan mengapa ia harus mampir. Matanya terpanah ketika melihat sosok gadis yang sedang mengantarkan pesanan di meja yang bernomor enam. Bintang menjadi kikuk dibuatnya ketika gadis itu menghampirinya dengan menyodorkan sebuah buku menu. Gadis itu memang tidak terlalu cantik ataupun semampai seperti artis-artis yang sering ia temui di Jakarta. Tetapi baginya ada sesuatu hal magis yang menjadi daya tarik tersendiri.
            Bintang kembali mencari ide agar bisa selangkah lebih dekat lagi dengan Alexa. Matanya menerawang lalu menjelajahi setiap sudut ruang kafe itu. Ia melihat rak buku yang menggantung di tembok depan bar, ia tak kehabisan akal untuk menjadikannya sebagai alasan menyapa gadis yang membuatnya tersenyum ketika ia mampir ke kafe tersebut.
            “Permisi, boleh saya pinjam bukunya?” Alexa hanya mengangguk, lalu meninggalkan Bintang sendiri. Bintang sedikit kesal dengan sifat cuek gadis itu.
            “Buku mana yang menarik?” kembali Bintang mencari perhatian gadis itu. Alexa berdiri dari tempat duduknya, ia berjalan menuju rak buku dan berdiri disebelah Bintang. Telunjuk tangannya menunjuk-nunjuk tiap buku yang tertata, mencari-cari satu judul buku favoritnya. Jari telunjuknya berhenti pada buku hitam dan tidak begitu tebal. Alexa menarik buku itu keluar dari barisan buku-buku yang lain.
            Bintang mengeja perlahan, “Biola Tak Berdawai.”
            “Seno Gumira Ajidarma,” Kata Alexa singkat. “Hati adalah sebuah ladang yang tak terbatas, dimana terkadang keajaiban kadang bersemai.” Bintang bingung dengan ucapan gadis itu. Alexa kembali lagi ke tempat duduknya di balik bar.
           Bintang hanya perlu melangkah selangkah-dualangkah untuk sampai ke tepian bar. Ia membuka halaman pertama, hati adalah sebuah ladang yang tak terbatas, dimana terkadang keajaiban kadang bersemai. Sudut bibirnya sedikit terangkat, sekarang ia mengerti apa yang diucapkan gadis itu tadi. Dering telepon yang mengganggu keasyikannya malam ini kembali membuatnya kesal. Telepon dari Mami. Jelas wanita yang melahirkannya itu khawatir dengan anak semata wayangnya. Bintang tidak mengatakan kemana ia akan pergi, bahkan ia pun juga tak segera mengabari Maminya lewat pesan teks.
            “Boleh saya pinjam buku ini? Saya ingin membacanya di rumah,” tentu saja tidak boleh, buku-buku yang ada di rak ini hanya boleh dibaca ditempat. “Saya pasti kembalikan buku ini. Sebagai jaminannya, kamu boleh pegang KTP saya.” Bintang menyodorkan kartu identitas yang berukuran 9x6 cm ke arah gadis pelayan itu, lalu dia bergegas mengambil kunci mobil di meja pertama kalinya tadi. Ia berlari kecil-kecilan menuju mobilnya yang sejak tadi memenuhi latar depan kafe. Alexa melihat identitas yang tertera di kartu berwarna biru muda dalam genggamannya.
            “Bintang Pratama,” ejanya dalam hati. Tanpa ia sadari, sudut bibirnya sedikit terangkat.
***
            Setiap orang hidup dengan masa lalunya, karena masa lalu tidak akan pernah betul-betul berlalu. Setiap kali seseorang berniat melupakan sesuatu dari masa lalu itu sebetulnya ia telah mengguratkannya dalam hati. Seseorang bisa saja melupakan sesuatu, namun sesuatu itu tidak akan pernah hilang. Bahkan tersimpan dalam peti-peti tertutup di relung-relung kenangan yang tidak terpetakan.
            Bintang masih membacanya, dia tertarik dengan buku yang dipinjamnya di Kedai Nostalgia dua hari yang lalu. Bahkan dosen yang menjelaskan tentang sastra lama pun tak dihiraukannya. Buku ini memang menarik. Entah karena isinya atau karena gadis yang memilihkan buku ini kemarin yang membuatnya tertarik untuk membacanya. Bahkan Maminya sendiri heran ketika melihat Bintang sedang santai membaca buku itu di tempat tidurnya.
            “Tumben Bintang baca buku?” Maminya menyelinap masuk tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada si mpunya kamar. Bintang kaget, kehadiran Maminya mengejutkannya.
            “Eh Mami. Ini baca bukunya Seno Gumira, Mi. Judulnya Biola Tak Berdawai,” ia kembali lagi asyik membaca sederetan kalimat. Maminya hanya mengangguk.
            “Selamat membaca, sayang” lalu Maminya pergi meninggalkan Bintang sendiri bersama keasyikannya.

***

                 To be continue…

Comments

Popular Posts